HEMOLYTIC ANEMIA
Suatu penyakit anemia yang
terjadi ketika sel-sel darah merah mati lebih cepat daripada kecepatan sumsum
tulang menghasilkan sel darah merah. Istilah ilmiah untuk penghancuran sel darah
merah adalah hemolisis atau hemolitik (yang bersifat hemolisis).
Anemia
hemolitik sendiri didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh peningkatan
laju destruksi eritrosit. Anemia hemolitik dibagi menjadi dua klasifikasi,
yaitu anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh defek intrinsik dari
sel darah merah, Sedangkan anemia hemolitik didapat dan disebabkan oleh
perubahan extracorpuscular maupun
perubahan lingkungan. Pada pasien dengan anemia hemolitik didapatkan tanda
klinis seperti pucat, ikterik ringan, dan splenomegaly. Peneliti laboratorium
dari anemia hemolitik dibagi menjadi 3 kategori yaitu :
Tanda peningkatan dekstruksi eritrosit
+
Peningkatan serum bilirubin (bilirubin indirek)
+ Peningkatan urobilinogen urin
+Tidak adanya serum haptoglobin akibat destruksi oleh sel-sel dari
system
retikuloendotelial
Tanda peningkatan produksi eritrosit
+ Retikulositosis
+ Hyperplasia sumsum tulang eritroid, dengan sumsum tulang myeloid
yang
normal. Rasio
myeloid:eritroid (normal 2:1 hingga 12:1) menurun menjadi 1:1
atau kebalikannya
Kerusakan eritrosit
+ Morfologi (mikrosferositosis, elliptositosis)
+ Kerapuhan osmotic
+ Peningkatan enzim-enzim spesifik
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini
terbagi menjadi dua klasifikasi:
1.
intrakorpuskular:
hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri, misalnya
karena faktor herediter, gangguan metabolismenya, gangguan pembentukan
hemoglobinnya, dll.
2.
ekstrakorpuskular:
hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya didapat, misalnya karena
autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb.
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal
berikut:
1.
Turunnya
kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum tulang masih
bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut
dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat, sumsum
tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2.
Meningkatnya
pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
·
Hemolitik
ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel
makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika
eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun
fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah
menjadi globin dan heme. Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan,
sedangkan heme nanti akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi
diangkut lagi untuk disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak,
ia akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah
akan berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I),
mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II),
dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses dan
urobilinogen di urin.
·
Hemolitik
intravaskuler. Terjadi di dalam
sirkulasi. Jika eritrosit mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas
ke plasma, namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya
ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat,
jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya,
beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi,
Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi
methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga
terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal nantinya
juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk
hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah
hemosiderin tersebut ke urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan
tanda hemolisis intravaskuler kronis.
·
Peningkatan
hematopoiesis. Berkurangnya jumlah
eritrosit di perifer akan memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk
merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’
untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda)
dalam darah, mengakibatkan polikromasia.
Manifestasi Klinis
-
Gejala umum: gejala anemia
pada umumnya, Hb < 7g/dl.
-
Gejala hemolitik:
diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek
dlm
darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali,
kholelitiasis
(batu
empedu), ulkus dll.
-
Gejala penyakit dasar
(penyebab) masing2 anemia hemolitik tsb.
Pengobatan
Pengobatan tergantung keadaan klinis dan
penyebab hemolisisnya, namun secara umum ada 3:
1.
terapi
gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan
pengawasan ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi
beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau
juga bisa hiperimun globulin untuk menekan aktivitas makrofag.
2.
terapi
suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama di
limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam folat 0,15 –
0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. terapi
kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum
tulang bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia.
Komentar
Posting Komentar